Langsung ke konten utama

Lembu Sura dan Runtuhnya Majapahit, Mitos dan Sains Gunung Kelud

AFP PHOTO / JUNI KRISWANTO Warga memotret erupsi Gunung Kelud dari Kota Kediri, Jawa Timur, 14 Februari 2014. Erupsi gunung ini mengakibatkan hujan abu dan kerikin yang menutupi banyak wilayah di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ribuan orang mengungsi.

"Yoh, Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping-kaping, yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, lan Tulungagung dadi kedung" ~Lembu Sura~


KOMPAS.com - Kalimat di atas adalah "sepatan" alias kutukan yang diucapkan Lembu Sura, tokoh legenda yang mewarnai sejarah Kabupaten Kediri di Jawa Timur. Juga, sejarah kerajaan Majapahit.


Ada beragam versi soal Lembu Sura yang berakhir dengan kutukan dan menjadi sejarah lisan kehadiran Gunung Kelud ini. Meski demikian, semua bertutur tentang cara seorang perempuan cantik menolak lamaran Lembu Sura. Satu versi, adalah cerita dengan perempuan cantik Dewi Kilisuci yang adalah anak Jenggolo Manik. Versi lain, ini adalah kisah tentang Dyah Ayu Pusparani, putri dari Raja Brawijaya, penguasa tahta Majapahit. Ada versi-versi lain tetapi inti cerita sama.


Kisah ini bermula dari kecantikan yang tersohor, mendatangkan para pelamar, sayangnya yang datang tak sesuai harapan. Tak enak menolak, maka cara sulit diterapkan. Tak beda dengan kisah Rorojonggrang dan legenda candi Prambanan. Namun, dalam legenda Gunung Kelud, pelamar sang putri ini masih pula bukan manusia. Dia makhluk berkepala lembu. Itulah Lembu Sura.


Untuk menolak lamaran Lembu Sura, dibuatlah syarat pembuatan sumur sangat dalam hanya dalam waktu semalam. Tak dinyana, Lembu Sura ini punya kekuatan dan kemampuan untuk mewujudkan syarat itu. Melihat perkembangan tak menggembirakan, sang putri pun menangis. Ayahnya, dalam versi kisah yang mana pun, kemudian memerintahkan para prajurit untuk menimbun Lembu Sura yang masih terus menggali di sumur persyaratan itu.


Batu demi batu dimasukkan ke lubang sumur, menjadi sebentuk bukit menyembul karena ada Lembu Sura di dalamnya. Saat batu dilemparkan, Lembu Sura masih memohon untuk tak ditimbun. Begitu menyadari bahwa permohonannya akan sia-sia, keluarlah "sepatan" sebagaimana menjadi kutipan di atas. Sejak saat itulah legenda Gunung Kelud dan kedahsyatan letusan maupun dampaknya mengemuka.


Hancurnya Majapahit


Terlepas dari mitos Lembu Sura, tiga wilayah yang disebut dalam kutukannya itu memang kemudian luluh lantak. Para ahli sejarah memperkirakan letusan pada1586 yang menewaskan lebih dari 10.000 orang adalah akhir dari sejarah kekuasaan Kerajaan Majapahit.


Betul, catatan sejarah menyebutkan Kerajaan Majapahit diperkirakan runtuh pada kisaran angka tahun 1478. Namun, para sejarawan hari ini pun mengakui masih banyak yang belum terkuak soal sejarah kerajaan itu, seperti misalnya dugaan ada dua Majapahit pada satu masa.
Apa kaitannya dengan Gunung Kelud? Tentu saja letusannya.

http://www.vsi.esdm.go.id

Peta rawan bencana letusan Gunung Kelud, yang dirilis Badan Geologi Kementerian Energi, Sumber Daya Alam, dan Mineral menyusul peningkatan status kegunungapian Gunung Kelud menjadi Awas, Kamis (13/2/2014) malam. Gunung ini kembali meletus pada Kamis dengan letusan pertama terjadi pada pukul 22.50 WIB.

Sebelum letusan pada 2007, setidaknya sejak awal abad 1900-an diketahui bahwa kawah Gunung Kelud memiliki danau. Kecuali letusan pada 2007, letusannya pun diketahui bertipe eksplosif, termasuk letusan pada Kamis (13/2/2014) malam.


Dalam sebuah wawancara mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi, Sumber Daya Alam, dan Mineral (ESDM) Surono mengatakan keberadaan danau di kawah ini sama bahayanya dengan lontaran material padat dari letusan gunung.Surono yang pada Jumat (14/2/2014) diangkat menjadi Kepala Badan Geologi, mengatakan lontaran air dari danau kawah, bila masih ada, bisa mencapai sekitar 37,5 kilometer. Sudah air panas, bercampur magma, masih dipadukan dengan seratusan juta ton material padat yang terlontar.


Kira-kira, karena tak ada catatan sejarahnya, itulah yang terjadi pada letusan 1586. Namun, bukan pula letusan itu saja yang menyebabkan korban jiwa mencapai lebih dari 10.000 jiwa. Dampak sesudah letusan, tak kurang buruknya.


Diduga, kematian puluhan ribu orang itu juga disebabkan kelaparan. Dengan muntahnya air danau kawah, lontaran material padat, dan abu vulkanik yang mematikan tanaman, dapat diduga tak ada pasokan makanan yang bisa disediakan dalam jumlah besar untuk jumlah warga pada saat itu.


Membaca simbol tradisi lisan untuk mitigasi bencana


Inilah yang kemudian diduga sebagai penyebab benar-benar paripurnanya sejarah kerajaan Majapahit, menutup beragam konflik politik internal zaman itu, maupun legenda kutukan Lembu Sura.


Sebagai gambaran, letusan pada 1919 yang notabene relatif lebih modern dibandingkan kondisi pada 1586, juga menewaskan ribuan orang. Angka yang tercatat adalah 5.160 orang. Letusan pada 1919 inilah yang mengawali dilanjutkannya upaya pembangunan terowongan di kaki gunung berketinggian 1.731 meter tersebut.
Terowongan-terowongan tersebut berfungsi mengurangi volume air di kawah danau. Catatan tertua tentang upaya mengurangi dampak dari lahar cair, gabungan magma dan air danau yang mendidih, adalah "kelahiran" Sungai Harinjing yang sekarang dikenal sebagai Sungai Sarinjing di Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kediri. Sungai ini merupakan sudetan dari Sungai Konto.


Kehadiran Sungai Serinjing tercatat dalam prasasti Harinjing di Desa Siman. Dalam prasasti yang dikenal pula sebagai Prasasti Sukabumi itu, tertera angka tahun 921 M. Di situ diceritakan soal pembangunan bendungan dan sungai yang dimulai pertama kali pada 804 M.
Terowongan pengalir air dari danau kawah buatan 1926, setelah letusan pada 1919, masih berfungsi sampai sekarang. Namun, setelah letusan 1966, Pemerintah Indonesia membangun terowongan baru yang lokasinya 45 meter di bawah terowongan lama.
Terowongan baru yang rampung dibangun pada 1967 ini diberi nama Terowongan Ampera. Fungsinya menjaga volume air danau kawah tak lebih dari 2,5 juta meter kubik. Volume air di kawah Gunung Kelud susut dan hanya menyisakan genangan pada letusan efusif 2007.


Pada letusan Kamis (13/2/2014) malam, air danau bisa jadi bukan lagi ancaman. Namun, terbukti pada malam itu bawa Gunung Kelud masih memiliki ciri letusan eksplosif. Lontaran material padat vulkanik pada letusan terbesar pada pukul 23.30 WIB mencapai ketinggian 17 kilometer, ketika letusan pertama melontarkan material hingga setinggi 3 kilometer.


Jangkauan abu vulkanik letusan Gunung Kelud pada malam itu pun menyebar luas mengikuti arah angin, menyebar luas di Jawa Tengah dan menjangkau Jawa Barat. Bisa jadi gabungan antara pembangunan saluran-saluran air yang telah menghadirkan 11 sungai berhulu di gunung itu, letusan efusif yang menyurutkan air danau kawah, dan persiapan yang lebih baik menjadi faktor yang meminimalkan jumlah korban.
Namun, barangkali pekerjaan rumah tetap belum habis. Berdasarkan catatan sejarah, Gunung Kelud memiliki pola letusan berjeda pendek, antara 9 sampai 25 tahun. Walaupun korban jiwa yang jatuh dalam dua hari ini bukan karena dampak langsung letusan, tetapi fakta sangat pendeknya tenggat waktu antara peningkatan status Awas sampai terjadi letusan pada Kamis malam, tetap merupakan sebuah catatan baru.


Jarak waktu peningkatan status hingga terjadinya letusan, tak sampai dua jam. Kalaupun kutukan Lembu Sura tak lagi relevan sebagai mitos, barangkali perlu dibaca ada simbol-simbol budaya dalam tradisi lisan sebagai "kode" mitigasi bencana.
Percaya atau tidak, hari ini selain 11 sungai ada di Kediri, di Tulungagung pun ada Bendungan Wonorejo, dan Blitar menjadi sebidang tanah datar di kawasan yang dikelilingi danau dan sungai itu. Agak terdengar familiar? Betul, kalimat dalam legenda Lembu Sura.


Sumber: beragam sumber/Ekspedisi Cincin Api

http://nasional.kompas.com/read/2014/02/15/0925421/.Sepatan.Lembu.Sura.dan.Runtuhnya.Majapahit.Mitos.dan.Sains.Gunung.Kelud.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Bencana yang Menenggelamkan Majapahit di Kitab Pararaton

Secara geologi, wilayah Majapahit berdiri di atas suatu kawasan rawan bencana geologi berupa letusan gunungapi, gempa, gunung lumpur, dan banjir. Pada masa Singasari dan Majapahit, bencana-bencana ini pernah terjadi melanda dua kerajaan tersebut, seperti tercatat di Kitab Pararaton. Penggalian arkeologi masih berlangsung dan telah menemukan beberapa lapisan bangunan Majapahit dan yang lebih tua yang terkubur lumpur lempung dan/atau sebagian material volkanik. Hal ini mengindikasi bahwa pada masanya peristiwa alam seperti letusan gunungapi atau gununglumpur pernah melanda area Majapahit. Kitab “Pararaton” yang ditulis seorang penulis tak dikenal pada tahun 1535 Saka (1613 M) walaupun ditulis pendek saja (sekitar 250 baris kalimat pada daun lontar) ternyata di sana sini memuat berita kejadian-kejadian bencana geologi (banyu pindah, gunung anyar, gunung jeblug, lindu) di area Kerajaan Singasari dan Majapahit di sekitar Kediri sampai Delta Brantas sekarang. Kitab ini memang kronik sejara

Misteri Penemuan Besar yang Sengaja Dirahasiakan

  Matahari adalah pusat galaxy dan bumi bukanlah pusat tata surya! Dua statement dari Galileo ini sempat menjadi kontroversi pada zamannya karna pihak otoritas saat itu menganggap bahwa pernyataan tersebut adalah sesat. Kehidupan sang ilmuwan pun digerogoti dengan ketidak-tenangan akibat desakan dari pihak otoritas agar merubah pemahamannya agar sejalan dengan mereka. Kisah tersebut menjadi salah satu 'sejarah kelam dunia', dimana para ilmuwan yang notabenenya memiliki pengetahuan yang setidaknya lebih maju dan juga bersifat mempermudah kehidupan manusia 'pada umumnya' harus terbentur konspirasi dengan pihak otoritas yang secara samar - samar mencoba menutup mata kita semua terhadap semua hal tersebut. Kisah - kisah dibawah ini lebih pada menceritakan tentang para penemu - penemu yang tidak sempat terkenal, dimana memiliki mesin - mesin keren ciptakan mereka sendiri yang notabenenya bersifat untuk (lebih) menghemat umat manusia dalam mengkonsumsi bahan bakar