Ada “Ucapan” Selamat Datang Penyelam di Dasar Sungai Mahakam. Demikian judul sebuah karya jurnalistik berjenis feature yang diterbitkan oleh Surat Kabar Harian Kaltim Post edisi Kamis, 12 Januari 2012, pada halaman 25 dan bersambung ke halaman 33. Artikel yang sama juga diterbitkan oleh Surat Kabar Harian Samarinda Pos (Sapos) pada hari yang sama.
Saya akan mengkritisi beberapa kontroversi yang ditulis oleh wartawan bernama Eka Fatimah tersebut. Kutipan dari feature tersebut saya salin apa adanya. Jadi mohon maklum, adanya kekeliruan dalam kaidah bahasa Indonesia berasal dari sang wartawan Kaltim Post, bukan dari saya.
Kontroversi Ke-1: Pendiri Kerajaan Kutai Kartanegara
Pada alenia pertama Kaltim Post menulis:
“Sudah menjadi rahasia umum, jika Sungai Mahakam menyimpan berbagai misteri. Dari munculnya dewa-dewi kayangan yang belakangan menjadi pendiri Kerajaan Kutai Kartanegara,”
Tanggapan:
Pendiri Kerajaan Kutai Kartanegara adalah Aji Batara Agung Dewa Sakti di Kutai Lama pada tahun 1300 Masehi. Fakta sejarah ini bukanlah rahasia umum dan bukan pula misteri, tetapi merupakan catatan ilmiah sebagaimana bisa ditemukan di situs Wikipedia. Tidak ada penyebutan dewi-dewi kayangan sebagai pendirinya.
Jika yang ia maksudkan dengan kerajaan tersebut adalah Kerajaan Kutai yang berdiri pada abad ke-4 Masehi, maka terjadi kekeliruan dalam penyebutan nama kerajaan, seharusnya ia menulis “Kerajaan Kutai Martadipura”.
Namun, Kerajaan Kutai Martadipura sebagaimana informasi yang dicatat Wikipedia, didirikan oleh Aswawarman sekaligus sebagai raja pertamanya, bukan didirikan oleh makhluk lain dari negeri dongeng.
Kontroversi Ke-2: Periodisasi Permintaan Korban oleh Sungai Mahakam
Masih di alenia pertama, Kaltim Post menulis:
“… hingga cerita menyebutkan jika salah satu sungai terpanjang di Indonesia ini selalu “meminta” korban dalam kurun waktu tertentu.”
Tanggapan:
Sang wartawan mengklaim adanya cerita permintaan korban oleh Sungai Mahakam dalam kurun waktu atau periode tertentu. Namun, ia tidak menampilkan data dan fakta misalnya setiap berapa bulan atau tahun sekali Sungai Mahakam menelan korban jiwa.
Cerita tersebut hanya rumor yang tidak mempunyai landasan faktual dan ilmiah. Bahkan rumor ini bisa tergolong hoax alias kabar bohong yang dikarang untuk tujuan olok-olok, dramatisasi atau maksud tertentu lainnya.
Kontroversi Ke-3: Penunggu Sungai Mahakam Tidak Buta Aksara
Pada alenia ke-4 dari bawah, Kaltim Post menulis kutipan cerita dari salah seorang koordinator penyelam tradisional dari Desa Sanggulan, Kecamatan Muara Kaman bernama Heri sebagai berikut:
“Bahkan, ada yang melakukan penyelaman di hari pertama ia bertugas langsung disuguhi pemandangan yang tidak lazim dalam air. “Menurut pengakuan penyelam tersebut yang diceritakan kenalan saya itu, si penyelam melihat cahaya terang di dasar sungai serta ada tulisan besar dengan kata-kata selamat datang penyelam,” ungkapnya dengan nada serius.”
Tanggapan:
Si penyelam mengaku bisa membaca tulisan, tentu yang ia maksud adalah aksara latin, bukan aksara kuno yang hanya bisa dibaca oleh orang zaman dulu atau para ahli prasejarah. Apakah ini berarti pada zaman modern makhluk misterius yang dianggap sebagai penunggu Sungai Mahakam mengikuti perkembangan zaman?
Penyelam tradisional dari pedalaman Kutai tentunya sudah punya modal kepercayaan yang mendarah daging terhadap mistik/klenik tentang Sungai Mahakam. Maka, si penyelam pun mengalami halusinasi atau juga berfantasi menyesuaikan dengan keadaan zaman sekarang yang mempergunakan aksara latin sebagai bahasa tulis.
Halusinasi sendiri adalah terjadinya persepsi dalam kondisi sadar tanpa adanya rangsang nyata terhadap indera. Sedangkan fantasi adalah yang berhubungan dengan khayalan atau dengan sesuatu yang tidak benar-benar ada dan hanya ada dalam benak atau pikiran saja. Kata lain untuk fantasi adalah imajinasi.
Yang ‘lucu’ lagi, penyambutan dengan ‘spanduk’ selamat datang mirip dengan acara penyambutan pejabat atau tokoh penting yang berkunjung ke suatu daerah. Imajinasi ini mungkin saja terjadi karena sebelumnya ia sudah biasa menyaksikan aneka spanduk ucapan selamat datang di berbagai tempat.
Cerita “ucapan selamat datang” ini hanya berasal dari penyelam tradisional yang bekerja setelah berakhirnya proses evakuasi oleh tim Basarnas. Seharusnya tim Basarnas yang pertama kali bekerja pun disambut dengan “ucapan” yang sama, namun tidak terjadi.
Dalam berita yang sama, Kaltim Post mengutip keterangan dari komandan Basarnas bahwa, “Kalau tim tradisional saya selama 12 hari bekerja alhamdulillah belum pernah mengalami kejadian-kejadian semacam itu.”
Kontroversi Ke-4: Penunggu Sungai Mahakam Gemar Dugem
Pada alenia ke-3 dari bawah, Kaltim Post menulis lanjutan cerita dari Heri, seorang koordinator penyelam tradisional sebagai berikut:
“Bahkan, ada juga penyelam yang mendengarkan suara musik disko seperti orang berpesta di dalam sana.”
Tanggapan:
Apakah penunggu Sungai Mahakam gemar dugem? Tentu saja ini kisah konyol. Banyak kemungkinan yang terjadi di area jembatan Kukar saat proses evakuasi. Adanya suara mesin kapal dan peralatan lainnya bisa jadi mempengaruhi pendengaran dan ia berimajinasi sesuai persepsinya subyektifnya.
Ungkapan komandan Basarnas bahwa timnya tidak mengalami kejadian mistis bisa dijadikan sanggahan atas cerita disko dalam sungai ini. Kalimat dari sang wartawan pada alenia ke-2 dari bawah juga memperkuat sanggahan. Wartawan menulis, “Meski sudah beredar dari mulut-ke mulut, namun belum ada orang yang berani bicara saat dikonfirmasi kebenarannya.”
Kontroversi Ke-5: Logika Setiap Tempat Pasti Berpenghuni
Pada alenia terakhir ditulis:
“Namun secara logika, menurutnya, setiap tempat itu sewajarnya memiliki penghuni. Entah itu, makhluk alam nyata ataupun yang tak kasatmata.”
Tanggapan:
Pernyataan logika dari komandan Basarnas tersebut termasuk jenis penalaran atau logika induktif yakni penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum.
Dinyatakannya, setiap tempat itu ‘sewajarnya’ memiliki penghuni. Konklusi atau kesimpulan ini dibangun di atas dasar argumen induktif yang bersifat asumsi, bukan kebenaran absolut. Argumen induktifnya yakni pada tempat tertentu ada penghuninya dan sedangkan pada tempat lain tidak bisa dipastikan ada penghuninya.
Kemudian keberadaan makhluk nyata yang mendiami suatu tempat tertentu merupakan hal yang bisa dibuktikan secara ilmiah. Adapun keberadaan makhluk tak kasat mata di lokasi tertentu yang diklaim sebagai penghuninya merupakan hal yang tidak bisa dibuktikan secara faktual. Setiap tempat yang berdimensi tidak mesti ada penghuninya. Bisa jadi suatu lokasi ada penghuninya dan bisa jadi tanpa penghuni.
Intinya, logika induktif itu sendiri jika premis atau argumennya benar, maka kesimpulannya mungkin benar, tapi tak ada kepastian akan kebenarannya. (Yournalia Shagieta)
Komentar
Posting Komentar