Tiga bulan sekali Agung Wahyudi membeli ribuan benih ikan nila tak jauh dari rumahnya di Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Ia sengaja memilih benih berusia nol-tiga hari, berbentuk bintik-bintik hitam. Alasannya, di usia itu bibit dalam kondisi gonad atau tidak berkelamin. “Kita masih bisa menentukan sendiri jenis kelaminnya,” kata pria setengah baya ini beberapa waktu lalu.
Caranya sederhana. Cukup dengan akuarium, air, sirkulasi udara, dan kolam tampung seperempat lapangan bulu tangkis di pekarangan rumahnya. Resep khususnya adalah menabur serbuk “ajaib” cokelat muda yang mengandung hormon maskulin ke bibit seharga Rp 5.000 per seribu ekor itu. Takarannya harus pas: 10 gram hormon maskulin dicampurkan ke dalam 80 liter air, yang cukup mengubah 7.000 gonad. Benih direndam 18-24 jam. Lalu ganti air rendaman dalam akuarium dan pindahkan ikan ke kolam tampung setelah berusia dua minggu. “Pertumbuhan sangat cepat. Panen hanya butuh 2-3 bulan,” katanya.
Serbuk yang digunakan Agung adalah hormon metil testosteron buatan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), yang berfungsi mengubah kelamin (sex reversal) ikan menjadi jantan. “Persentase alih kelamin mencapai 94 persen,” kata Adria Priliyanti Murni, pembuat sekaligus peneliti senior Batan. Kementerian Riset dan Teknologi memberi penghargaan hormon Batan sebagai salah satu inovasi paling prospektif sepanjang 2010.
Menurut Adria, proses penjantanan ikan penting untuk meningkatkan kesejahteraan peternak dan produksi ikan nasional. Selain ongkos produksi yang murah, “jantanisasi” ikan memiliki nilai ekonomi tinggi, karena masa tumbuhnya cepat sehingga panen pun lebih sering. Maklum, seluruh energi ikan pejantan digunakan untuk tumbuh, tidak seperti betina yang sebagian energinya digunakan untuk pematangan telur. Bentuk, ukuran, dan warna ikan jantan pun jauh lebih unggul dibanding si betina. “Butuh Rp 3-3,5 per ekor ikan untuk proses jantanisasi menggunakan hormon buatan Batan,” katanya.
Hormon maskulin Batan lahir menjawab masalah peternak ikan yang kesulitan mendapatkan metil testosteron. Sejak jantanisasi ikan diterapkan di Jawa pada 1998, hanya ada hormon maskulin buatan luar negeri, seperti Cina, Thailand, dan Jepang. Selain mahal, tingkat keberhasilan hanya 60-80 persen.
Inilah yang membuat Adria tertarik meneliti bagaimana menghasilkan hormon maskulin alami nonkimia lewat teknologi nuklir. Akhirnya pilihan jatuh pada limbah testis sapi. Bahan alami ini ternyata memiliki kandungan testosteron tertinggi ketimbang testis mencit, domba, atau kambing yang juga menjadi bahan penelitiannya. Digunakanlah uji radioimmunoassay plus yodium-125 untuk mengukur kandungan testosteron. “Teknologi nuklir yang digunakan tidak berbahaya karena hanya untuk mengetahui nilai konsentrasi hormon,” katanya. Lahirlah hormon maskulin made in Indonesia pada 2007, setelah serangkaian penelitian selama tujuh tahun.
Hormon maskulin dibuat dengan cara mengiris-iris testis sapi menjadi kepingan kecil seukuran 5 sentimeter. Potongan itu lantas dikeringkan pada suhu 60 derajat Celsius. Pada setiap 100 gram tepung testis ditambahkan metil alkohol 70 persen dari total volume. Hormon ini cocok untuk jenis ikan hias dan konsumsi, seperti nila, gurami, lele, patin, kerapu, cupang, lohan, dan koi.
Ahli akuakultur Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Doktor Fauzan Ali, mengatakan, tanpa proses sex reversal, perbandingan benih ikan jantan dan betina adalah 40 : 60. “Setiap kelahiran alami bisa dipastikan lebih banyak ikan betinanya,” kata Fauzan.
Adria memberi catatan, hormon maskulin buatannya bukan tanpa kekurangan. Kematian bibit saat proses sex reversal pun sering terjadi lantaran kurang hati-hati. Penyebabnya ikan menjadi stres. Tapi jangan khawatir, tingkat kematian gonad hanya 20 persen, jauh lebih kecil dibanding hormon dari luar negeri yang mencapai 50 persen. Agung merasakan, dari 35 ribu benih ikan nila yang dibudidayakannya, yang mati sekitar 7.000 benih. “Itu tak jadi masalah,” katanya.
Komentar
Posting Komentar